Oleh : Yusuf Albanna
“penting untuk disiapkan dan dibangun ekosistemnya. Siapa yang melakukan penyiapan naskah kitab/ manuskrip atau makhthuthat dan siapa yang akan memanfaatkannya? Institusinya, orangnya, yang mengajarkannya, dan seterusnya. Kalau ekosistem ini tidak dibangun, hanya terbit saja, saya kira percuma.”
Prof. Dr. Oman Fathurrahman.
Membaca Turats para ulama terdahulu sudah sejak lama menjadi bagian dari pendidikan Islam di Pesantren, perlu penyadaran yang terus menerus, terutama di lingkungan Pondok pesantren yang menopang tradisi ngaji naskah nusantara yang pernah ditulis dengan baik dalam cara, jenis, bentuk Aksara & Huruf apapun, melalui ngaji Filology ( cara baca tulisan dalam aksara, huruf dan rumpun bahasa yang pernah digunakan manusia disemua kebudayaan dan peradaban yang pernah ada ).
Ya, Filology ( ilmu yang mempelajari cara membaca tulisan ) untuk langkah sederhana yang mengarah pada keutuhan pendidikan pesantren, sangat bisa diwujudkan kalau di pesantren. satu-satunya tempat pendidikan ( kalaupun masih ada ) yang memungkinkan juga dimungkin memiliki keutuhan ini hanya pondok pesantren. Status pesantren ini kalau dibaca sebagai naskah bisa dipastikan “Codex Uniques” artinya hanya satu-satunya, tidak ada salinannya dan “genuine” gak bisa ditiru alias.
Di tengah dunia yang dipisahkan dengan konsep dan kategori ilmu Al-Qur’an & bukan Ilmu al-Qur’an, Islam & bukan Islam, pendidikan swasta – negara, kurikulum pondok dan kurikulum pemerintah adalah Konstruk salah yang bisa dikoreksi. Cara mengoreksinya dengan mengembalikan ke cara pandang menyatu yang berkembang jauh sebelum dunia ini terpisah berserakan. Saya masih ingat waktu awal-awal ke pondok pesantren Ittifaqiah di bulan februari tahun 2014, bersama para alumni pesantren kita bertemu berbulan-bulan merumuskan model kurikulum pendidikan yang tidak terbelah itu. Kita kuliti semua kurikulum yang ada di lembaga pendidikan terbaik dunia baik di Timur maupun di Barat. Bagaimana ilmu dipisahkan dan dilembagakan menjadi jurusan, fakultas dan universitas. Membandingkannya berulang, tahun 2024 ini sudah tahun kesepuluh dalam perjalanan diskusi akhirnya kita putuskan untuk kembali membaca keilmuan Islam melalui pembacaan naskah/ manuskrip/ makhthuthat ( tulisan tangan/ salinan atau tulisan tangan karya ulama terdahulu ) menggunakan pembacaan Filology.
santri di pesantren telah belajar naskah keilmuan al-Qur’an di jurusan madrasah manapun. Kita mengklaim bahwa di dunia ini hanya ada satu naskah utama yang semua semua mempelajarinya, semua ilmu diajarkan di dalamnya, semua guru yang mengajar di dalamnya fokus pada satu hal: Al-Qur’an dan pembacanya. Kelihatannya dua, tapi al-Qur’an dan pembacanya tidak boleh dipisahkan karena tanpa salah satuya tidak ada peradaban yang bisa kita baca dan tulis dengan baik. Tidak ada pesantren tanpa santri. Sebagaimana Islam dan masyarakat Muslim.
Di Pondok pesantren, tentu saja pesantren Al-Ittifaqiah Indralaya, kita bisa menikmati secara langsung bagaimana setiap santri berusaha membaca al-Quran seperti Nabi membacanya sepanjang hidupnya di Mekah dan di Madinah. Mengulangnya setiap hari, meresapi dan menghidupinya agar setiap persoalan yang dihadapi bertemu dengan setiap ayat yang dibaca. Mempelajari al-Quran bukan mempelajari wahyu yang selesai dikumpulkan, tetapi pengembaraan menyusuri bagaimana setiap ayat diturunkan sampai selesai. Disitulah inti pembelajaran santri. Fokus pada proses bukan pada hasil. Mempelajari proses lebih menantang dan mencerahkan daripada mempelajari hasil. Kenikmatan dalam membaca Qur’an ada di proses.
Jadwal kegiatan yang padat dengan kesibukan mempelajari seabrek mata pelajaran ditambah urusan dan kesulitan hidup yang dihadapi santri-santi kita tentu dengan maksud supaya santri-santri ini terlatih untuk berpartisipasi aktif menemukan & mengerjakan pemecahanya. Pemecahan yang lahir dari nilai-nilai kebenaran tertinggi ( Al-Qur’an ). Menurut pembaca, persoalan-persoalan kecil sehari-hari yang dijalani santri ini sangat penting, justru kehidupan harian inilah yang harus terlebih dahulu dimengerti santri, lalu dipertemukan dengan kebenaran. Bukan kebalikannya. Kebenaran ditemukan terlebih dahulu lalu dicari-cari masalah apa yang bisa dipecahkannya. Kalau begini kurikulum kita hanya menjadikan santri yang menghapalkan kebenaran yang tidak operasional. Ini bukan ciri santri ittifaqiah.
santri di pesantren terus menerus berusaha mengikuti cara Nabi tumbuh, para santri di pesantren terus melatih diri untuk memperkuat sisi kemanusianannya di tahap awal pertumbuhannya. Santri berlatih memasuki persoalan-persoalan terkini melalui pembacaan yang baik pada realitas, data dan informasi dunia yang mengintari mereka di berbagai tingkatan. Pertemanan & persahabatan mereka dari berbagai daerah, etnis, marga dan suku bangsa yang beragam, ya itu perbedaan tetapi mereka memiliki perasaan atau semangat sebangsa dan setanah air yang keragaman itu dipertemukan di pesantren, inilah diantara kekuatan pesantren yang akan menjadi ruang efektif untuk memhami dengan baik persoalan-persoalan kemanusiaan yang akan terus dihadapi setiap santri, pesantren ini miniatur bumi, ruang terbuka, disanalah kurikulum utama santri. Kematangan level santri ini hanya bisa dicapai melalui pemahaman persoalan yang terus menerus dihidupi lalu direnungkan dalam-dalam sembari dialami dijalani dalam kehidupan sehari-harinya, karena setiap niat dan langkah yang diambil akan menentukan nasibnya di dunia juga di akherat kelak. Bedanya kalau Nabi mendapatkan jalan keluar dari Allah SWT lewat wahyu, santri harus mempertemukan persoalan-persoalan yang dipikirkan dan diperjuangkan dengan wahyu yang mereka baca setiap hari. Bagi santri cara terbaik tentu mengikuti cara Nabi.
Nabi mencapai kematangan di usia 40 tahun. Waktu yang dibutuhkan untuk mewadahi ketinggian wahyu. Bukan berarti santri harus mondok sampai usia usia 40 tahun baru diajarkan al-Qur’an dengan segala keilmuannya ( ulumul Qur’an ). Kalau prioritas pertama pendidikan santri adalah mengerti manusia dan persoalan-persoalan yang mengintarinya, maka yang pertama kali diajarkan adalah pengetahuan untuk memahami tradisi, budaya keilmuan & peradaban dengan sangat baik.
Tradisi menulis dan membaca di tanah air, lengkap dengan budaya keilmuan & peradaban naskah nusantara khususnya di sumatera selatan. Persoalan-persoalan pendidikan yang ada di sumatera selatan bisa mengakar di tradisinya ( kalau di pesantren tradisi ini berarti membaca sunnah melalui naskah-naskah yang pernah di tulis ulama terdahulu ), budaya ( cipta, karsa, rasa penduduk lokal dari generasi ke generasi) di transmisikan melalui manuskrip, gulungan-gulungan naskah ini menjadi pengetahuan bersama di satu tempat ( kearifan lokal ) dan / ingatan bersama ( peradaban di satu wilayah ). Karena itu memempelajari tradisi, budaya, ilmu pengetahuan dan peradaban yang tidak didasarkan pada semangat untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan ini tidak akan punya masa depan. Pandangan bahwa memahami ilmu untuk menumbuhkan ilmu, tradisi untuk menguatkan tradisi, budaya untuk mengembangkan budaya, dan memahami peradaban untuk memelihara peradaban ini bukan ciri, gaya dan mazhab ittifaqiah.
Bagi santri di pesantren tahfizdh al-Quran penting dihafalkan 30 juz, bukan Cuma juz 30 saja!. Para ulama masyhurah berusaha menghafalnya sejak usia dini. Bedanya dengan santri, para ulama itu tidak melihatnya sebagai keutuhan yang membuat mereka diam. Al-Quran dimasukkan secara sadar ke dalam pertumbuhan dirinya dan lama kelamaan menjadi bagian dari akhlaq kehidupannya sehari-hari ( mode of being_nya santri ). Al-Qur’an menjadi bagian dari perasaan, pikiran dan perilaku santri. Pikiran, perasaan dan prilaku santri selalu kembali balik ke al-Qur’an yang ada dalam dirinya. Sebagaimana para ulama, kyai dan guru-gurunya yang mempertanyakan inti setiap ayatnya, merubah urutan dan keterhubungan satu ayat dengan ayat lain dalam pikirannya untuk menemukan bangunan makna barunya. Dan mereka terus saja bertanya sampai keluasan al-Qur’an pun masuk ke dalam rasa, pikiran dan perilakunya. Perasaan, pemikiran dan perilaku para penghafal al-Quran yang terus sahaja bertambah luas. Menuju ke keluasan al-Quran. Bukan memaksa al-Quran memasuki keterbatasan dirinya yang tambah sempit setiap hari. Atau seperti memasukan al-Quran dalam sebuah ruangan yang terbuat dari tembok. Berjarak, terpisah, tidak menyatu dengan tembok yang melingkarinya. Ruangan tidak berubah. Rak buku tidak berubah, lemari apalagi!
Bagi santri menghafal al-Quran seutuhnya adalah sebuah pertumbuhan yang menyenangkan, membahagiakan, pelan, lancar dan cepat akan merubah cara santri berperasaan, berpikir dan berperilaku. Tumbuh kembang menjadi diri yang lebih baik tanpa henti. Terus tumbuh mendekati kesempurnaan kemanusiaannya dan dekat kepada Tuhan dan ajaranNya. Bagi santri keutuhan itu menantang untuk dimengerti. Bagaimana al-Qur’an bisa sampai pada tahapan ini, bagaimana Nabi memastikan bahwa kata-katanya ini dari Tuhan dan bukan dari dirinya ( Nabi sempat melarang untuk menuliskan hadits, khawatir tercampur dengan wahyu ), bertanyakah bagaimana Nabi yakin bahwa Qur’an datang, kenapa disusun seperti sekarang ( tartibul mushahif; dari al Fatihah – an Nas ), kenapa tidak disusun berdasarkan urutan wahyu diturunkan ( tartibunnuzul; dari al-‘Alaq – al-Maidah), bagaimana Nabi menyikapinya, bagaimana dengan umatnya, dan juga musuhnya, dan siapa yang terlibat dalam proses penyempurnaan Al-Qur’an?, ini adalah sedikit diantara banyak pertanyaan yang diajukan para ulama untuk memahami dengan baik kumpulan ayat yang sudah dijilid ini. Begitu santri masuk ke keutuhan, mereka akan masuk ke keluasan karena keutuhan itu tak berbatas. Keutuhan dan keluasan tidak takut dengan pertanyaan dan memerlukan pengembaraan untuk memahaminya. Para ulama adalah para pengembara yang dulunya juga santri, dan santri-santri kita inilah InsyaAllah menjadi penerusnya.
Ngaji Naskah Santri; di Al-Iittifaqiah ‘Iqra’ cuma sampai tiga!
Karena tradisi baca dan tulis ini sangat penting untuk membangun kesadaran dan peradaban, maka perlu memperluas cara membaca al-Qur’an ini, melalui studi naskah ilmu al-Qur’an, dimulai dengan Iqra pertama ( cara baca pertama ), al-Qur’an dibaca dengan qira’ah masyhurah; qira’at riwayat imam ‘Ashim ‘an imam Hafs’, dengan riwayat bacaan inilah al-Qur’an dibaca dan dihafal setiap santri, dengan keyakinan penuh bahwa al-Quran itu adalah solusi dari setiap persoalan, maka para penghafal al-Quran harus mengerti dengan sangat baik setiap persoalan yang harus diselesaikannya. Dan itu perlu ilmu yang berbeda yang selama ini dilihat sebagai ilmu yang tumbuh di luar al-Quran dan diluar Islam, ilmu itu dinamakan Filologi, bahasa pesantrennya “studi naskah ilmu kalam”.
Iqra kedua ( cara baca kedua ) membaca al-Qur’an dengan pendekatan filologi ( studi atau kajian naskah ilmu kalam) ini meliputi pembacaan ulang naskah-naskah yang pernah di tulis oleh ulama terdahulu dalam sejarah peradaban ( naskah-naskah atau makhthuthah al-Qur’an yang pernah ditulis dengan semua tradisi keilmuan yang lahir untuk membacanya ), pembacaan kedua ini memerlukan cara membaca dengan menggunakan filology. Bayangkan saja, membaca Al-Qur’an, baca Tafsir Qur’an yang pernah ditulis ulama nusantara terdahulu dan pengalaman mengamalkannya secara bersamaan dalam satu tarikan nafas. Ini santri santri ittifaqiah! Karena kalau bukan santri membaca makhraj, shifah, dan ahkam yang dimiliki setiap huruf saja kita sudah belepotan selip, membaca disini perlu riwayat bacaan dan riwayat keilmuan.
Santri bisa mengembangkan cara baca baru terhadap ilmu yang kini disebut ilmu-ilmu al-Qur’an ( ulumul Qur’an ) dan ilmu-ilmu di luar al-Qur’an. Ada langkah penting yang bisa disusuri: melakukan cara baca kedua ( filology as double reading ) untuk menghasilkan cara baca ketiga ( third reading ). Cara baca kedua dikembangkan untuk membaca ulang karya-karya besar baik yang ditulis para ilmuwan kunci yang tumbuh dalam tradisi dan peradaban Islam maupun para ilmuwan kunci yang tumbuh dalam tradisi dan peradaban atas, bawah, Barat, Timur, Utara. Dengan cara baca kedua yang menggunakan pendekatan Filology ini kita bisa keluar dari kesurutan dan kedangkalan pendidikan di Indonesia kini lalu mengarah pada wilayah horizon keilmuan baru yang lebih segar. Khazanah baru yang kita sebut sebagai Cara Baca Ketiga ( iqra’ tiga ), yaitu cara baca untuk memahami semua tanda yang ada di alam raya ini, baik tanda-tanda yang ada dalam al-Qur’an, alam, dan manusia untuk melahirkan horizon atau cakrawala ilmu utuh. Keutuhan keilmuan ini sama sekali berbeda dengan pengetahuan yang kini kita sebut ilmu-ilmu al-Qur’an dan bukan ‘ilmu al-Qur’an.
Iqra Ketiga ini dibangun atas dasar tiga maqam penglihatan yang di bagian lain tulisan ini disebut Tri Logos ( logia : cahaya: an-Nur ): Teks-konteks-interpretasi ( huruf, zaman, penafsiran). Setiap Teks pasti ditulis dan dibaca dalam sebuah konteks yang telah berlalu melahirkan interpretasi baru, yang tersisa tilikan ke masa depan sekilas/ sejenak/ sesaat ( mukasyafatul “ilm atau dalam bentuk mukasyafatul qulub).
Dalam pembelajaran ketiga soko guru ini harus digilir sesering mungkin: membaca Qur’an, hadits, kitab, naskah manuskrip kuno yang membedah keruwetan konteks yang melahirkannya dan kompleksitas interpretasi yang kemudian melahirkan teks-teks baru di setiap zaman sampai hari ini, ( beberapa penulis biasanya menandainya dengan peristiwa atau kitab buku yang di tulis pada satu periode tertentu setiap abad, termasuk perbedaan jenis kertas, ciri Aksara, dll ). Teks yang ditlulis para pemikir besar lahir dari bacaan mereka terhadap teks-teks besar yang juga lahir dari teks-teks yang besar lagi. Kajian antar text ini menjadi sangat penting. Menelusuri teks-teks yang melingingkari teks-teks yang dilingkari oleh teks-teks lain akan membawa akita pada lautan teks yang sangat luas. Lagi-lagi keluasan inilah yang akan diraba oleh santri dan mahasanti di ittifaqiah. Keluasan yang diperluas lagi dengan keluasan konteks dan interpretasi yang dihasilkan lautan teks-teks itu. Penguasaan Tarikh Nabawiyyah/ Qishohul Anbiya, hayaat as-shahabah, dll. untuk membaca konteks buku sangatlah instrumental. Detil analisis terhdap kehidupan penulis (tumbuh dimana, pada masa siapa, pandangan dunia apa yang dominan pada masa itu, siapa gurunya, muridnya, buku-buku yang dibacanya, jaringan keilmuannya, geneologinya, dll) sangat diperlukan untuk mengerti apa yang dia tulis. Pertemuan antara kompleksitas teks dan kompleksitas konteks akan melahirkan interpretasi baru yang akan membuka jalan baru pertumbuhan ilmu dan peradaban, ittifaqiah bisa mulai dengan meneliti al-Qur’an dengan berbagi dimensinya, santri bisa memulai dengan pertanyaan sederhana kenapa penulisan al-Qur’an menggunakan Ratsm Utsmani atau lughat Quraisy? Kenapa tidak ditulis dengan huruf dan aksara lain?, kenapa qura’at imam ‘ashim yang masyhurah dimanapun, kenapa tidak qiraat imam nafi’ qariyyun madaniyyun atau qira’at imam ibnu Katsir yang Qariyyun Makkiyyun yang masyhur? atau kenapa imam Jalaluddin as-Shuyuti penulis tafsir Jalalain sampai mendeklarasikan bagian dari ilmu tajwid adalah mengetahui waqaf dan Washl, dan menyematkan diktum yang puitis di akhir syarah tafsirnya bahwa dalam “al-Qur’an terdapat satu makna dzhahir dan 72.000 ( iya, tujuh puluh dua ribu ) makna batin dalam setiap hurufnya.
Membaca Al-Quran dengan berbagai cara, diantara pembacaan al-Qur’an yaitu dengan menggunakan Ilmu yang mempelajari aksara ( Paleoghraphy ), codicology ( ilmu penandaan ) seperti verso ( belakang ) dan rekto ( depan ), keduanya sangat penting dalam membaca Al-Qur’an, apalagi bagi para penghafal Qur’an, karena terhubung pada penanda dan petanda dalam wahyu ketika dibaca.
Inilah yang belum diprogramkan oleh pesantren manapun di Indonesia dan di lembaga pendidikan Islam manapun, membaca Al-qur’an dengan pembacaan ke dua menggunakan filology. Sudah banyak yang melakukannya tapi personal, belum terorganisir dan belum menjadi projek strategis Nasional.